MUSEUM SITUS KOTA CHINA MEDAN MARELAN
Senin, 08 Juni 2015
Peran situs Kota Cina di abad XI—XIV M
Peran
situs Kota Cina di abad XI—XIV M
Sejumlah data yang telah dihimpun melalui survei
permukaan dan ekskavasi di sejumlah lokasi di Kota Cina merupakan bukti eksistensi
suatu kebudayaan yang cukup tua di kawasan pesisir timur Sumatera Utara. Berdasar
keramik-keramik Cina yang ditemukan -yang berasal dari masa Dinasti Sung hingga
Dinasti Yuan- intensitas pemanfaatan yang cukup tinggi kawasan Kota Cina di
masa lalu, terjadi antara abad ke-11 M hingga ke-14 M. Pada kurun sekitar empat
abad itu, Kota Cina tumbuh dan berkembang sebagai suatu bandar dan kawasan
permukiman yang kosmopolitan. Beragam artefak yang ditemukan merupakan cerminan
aktivitas manusia masa lalu di situs ini seperti perdagangan, pertukangan,
peribadatan, dan permukiman.
Barang-barang
keramik yang berasal dari Cina merupakan petunjuk adanya aktivitas perdagangan
dengan para pendatang dari luar Kepulauan Nusantara. Untuk mencapai tempat ini
para pendatang dari luar memanfaatkan moda transportasi kapal atau perahu kayu,
yang sisa-sisanya pernah ditemukan di areal yang sekarang menjadi Danau
Siombak. Tujuan utama para pendatang dari luar Kepulauan Nusantara datang ke
bandar Kota Cina adalah untuk membeli hasil-hasil alam Pulau Sumatera yang kala
itu merupakan mata dagangan bernilai tinggi, di antaranya adalah kapur barus
atau kamper, kemenyan, damar, gading, cula badak, dan lain-lain. Senyampang itu
mereka juga menjual produk-produk manufaktur dari negeri masing-masing, seperti
orang-orang Cina yang memasarkan barang-barang keramik dan kain sutera mereka,
orang-orang Arab atau Persia yang menjual barang-barang kaca, orang-orang India
yang menjual tembikar-tembikar halus, manik-manik batu maupun kaca; dan orang-orang
Thai/Siam yang memasarkan barang-barang keramik dan tembikarnya. Transaksi yang
terjadi telah menggunakan uang sebagai alat jual-belinya, yang dibuktikan oleh
keberadaan koin-koin Cina; di samping -mungkin- barter. Ragam asal para
pendatang itu yakni China, India, dan Timur
Tengah menunjukkan cukup kosmopolitannya Kota Cina kala itu. Di samping para
pendatang dari luar Kepulauan Nusantara, terdapat petunjuk kehadiran pendatang
dari bagian lain kepulauan ini, yakni dari Pulau Jawa, yang dibuktikan oleh
keberadaan fragmen tembikar berhias aksara Jawa Kuna la.
Bentuk lain
aktivitas masa lalu di situs ini adalah pertukangan, khususnya pertukangan
logam yang dibuktikan oleh adanya temuan gumpalan-gumpalan terak besi, yang
merupakan barang sisa pembuatan benda-benda besi. Memang belum banyak diketahui
ragam barang besi yang ditemukan, namun petunjuk itu menjadi data awal untuk
memberi gambaran eksistensi pandai logam di situs ini pada masa lalu. Artefak
lain yang fungsinya dapat dikaitkan dengan aktivitas pertukangan logam adalah
sejumlah kowi atau kui kecil, yang biasanya digunakan
sebagai wadah pelebur mineral-mineral logam yang gampang mencair seperti emas
atau timah. Kemungkinan itu mendekati kebenaran, sebab warga di areal situs
sering mendapatkan perhiasan emas maupun butiran-butiran emas di lahan mereka.
Materi lain dalam pembuatan benda-benda emas, selain emas itu sendiri, adalah
air raksa atau merkuri. Walaupun mineral itu tidak ditemukan mengingat sifat
zatnya yang cair, namun eksistensinya dibuktikan oleh temuan wadahnya yang
berupa fragmen keramik yang dikenal oleh para pakar keramik sebagai mercury jar.
Di samping
bentuk-bentuk aktivitas yang sifatnya profan, pada masa lalu sebagian kawasan
situs Kota Cina juga dimanfaatkan untuk aktivitas sakral. Bentuk aktivitas
sakral itu terutama berkaitan dengan peribadatan umat Hindu dan umat Buddha.
Sisa-sisa tempat ibadah mereka yang dikenal dalam pengertian Indonesia sebagai
candi, terdapat di kawasan permukiman yang terletak di sisi selatan Parit Lajang,
di kawasan Keramat Pahlawan dan di sekitar SDN Kota Cina. Denah sejumlah
struktur bata yang saat ini sebagian besar berada di bawah permukaan tanah atau
di bawah rumah-rumah warga, mengingatkan pada bentuk-bentuk serupa di Padang
Lawas maupun Pulau Jawa. Hal yang makin memperkuat adanya aktivitas sakral
adalah temuan berupa arca-arca Buddha dan Hindu baik yang dibuat dari bahan
batu maupun logam (perunggu) di areal Keramat Pahlawan dan sekitar SDN Kota
Cina. Gaya seni arca-arca itu, terutama yang berbahan batu, mirip dengan
arca-arca batu yang terdapat di Tanjore (India Selatan). Keberadaan arca-arca
bergaya seni India Selatan itu merupakan petunjuk hadirnya para pendatang dari
bagian selatan anak benua itu.
Sebagai suatu
bandar yang kosmopolitan pada masanya, Kota Cina pasti merupakan bagian dari
suatu entitas politik yang cukup berpengaruh
di kawasan Selat Malaka khususnya. Berdasar sumber-sumber tertulis entitas
politik di kawasan Selat Malaka yang dapat dikaitkan dengan rentang pemanfaatan
Kota Cina antara abad XI—XIV M, adalah Aru atau Haru. Sumber tertulis asing
tertua yang menyebutkannya adalah History
of the Yuan Dynasty, yang menyebutkan bahwa pada tahun 1282 penguasa Aru diundang ke istana Kublai Khan
untuk melakukan pertemuan dengan pemimpin Mongol yang baru menaklukkan China itu. Pada tahun 1295, penguasa Aru
mengirimkan saudaranya sebagai duta Aru ke China
sambil membawa sejumlah benda untuk penguasa China
(Wolters, 1970:44 dalam Milner dkk, 1977:7). Pada tahun 1310, Rasis Ad-Din
mencatat bahwa Aru, Perlak, dan Tamiang adalah kota-kota utama di Pulau
Sumatera (Ferrand, 1914:361 dalam Milner dkk, 1977:7). Entitas Aru tampil lagi
dalam sumber tertulis pada tahun 1365, ketika Prapanca pujangga Majapahit,
menyebutkan dalam karyanya Nagarakertagama di pupuh XIII bait ke-1 sejumlah nama tempat di Malayu (penyebutan Pulau Sumatera saat itu) antara lain: ...Pane,
Kāmpe, Harw, āthawe Mandahiliŋ, … (Pigeaud 1960:11).
Karya sastra Nusantara berikutnya yang juga menyebutkan Aru/Haru adalah
Pararaton yang ditulis pada akhir abad ke-15 M. Dalam Pararaton disebutkan
tentang sumpah Mahapatih Majapahit, Gajah Mada yang berikhtiar menyatukan
seluruh Kepulauan Nusantara di bawah naungan Majapahit, salah satu nama tempat
yang disebutnya adalah Aru/Haru.
Sumber
tertulis asing selanjutnya berasal dari catatan penjelajah China yang melakukan lawatan ke berbagai tempat di
Asia Tenggara daratan dan kepulauan, India, Srilangka, Timur Tengah, dan pantai
timur Afrika. Rekaman lawatan mereka ke berbagai tempat itu dilakukan oleh Ma
Huan, seorang muslim China yang menjadi juru
tulis dalam ekspedisi armada Cheng Ho. Dalam karyanya yang berjudul Ying-yai
Sheng-lan, Ma Huan mencatat bahwa Ya-lu
(Aru) -yang dikunjunginya pada tahun 1416 M- dapat dicapai setelah meninggalkan
Man-la-chia (Malaka) [1] & [2],
dalam waktu 4 hari dan
4 malam. Di negeri ini terdapat sungai yang disebut Sungai Air Tawar (Fresh water river), setelah melalui
sungai ini sampailah ke daerah permukimannya. Di selatan negeri ini terdapat
pegunungan sedangkan di utaranya adalah lautan, di baratnya berbatasan dengan Samudera (Pasai), dan di timurnya adalah
dataran rendah. Tanahnya hanya sesuai untuk pertanian padi ladang, dan padinya
berbutir kecil, tetapi selalu tersedia dalam jumlah yang berlimpah. Rakyatnya
hidup dari bertani dan menangkap ikan. Adat dan kebiasaannya masih murni;
upacara perkawinan, pemakaman, dan sebagainya mirip dengan yang terdapat di
Jawa dan Malaka. Barang-barang dari luar sangat sedikit mereka gunakan. Bahan
pakaian disebut k’au-ni (mungkin yang
dimaksud kain). Selain beras mereka juga banyak memiliki berbagai macam ternak
seperti kambing, unggas, dan bebek; susu juga banyak dikonsumsi. Raja dan
rakyatnya adalah muslim. Di hutan negeri ini terdapat macan terbang yang
seukuran seekor kucing; seluruh tubuhnya ditutupi bulu berwarna kelabu dan
sayap berdaging seperti sayap kelelawar; sayapnya ini menghubungkan bagian kaki
depan dan kaki belakangnya; binatang ini tidak dapat terbang jauh; saat
berhasil ditangkap, biasanya dia tidak akan memakan makanan yang diberikan, dan
akan segera mati. Negeri ini kecil dan tidak menghasilkan apa pun selain
getah-getah yang wangi dan sejumlah benda.
Pada kunjungannya yang kedua ke Aru[3]
-pada tahun 1436 M- diuraikannya bahwa Aru berada di arah berlawanan dari
Kepulauan Sembilan (di sekitar pantai Perak, Semenanjung Malaya); dapat
ditempuh dalam 3 hari pelayaran dari Malaka. Adat dan kebiasaan dan iklim
negeri ini sedikit berbeda dari Samudera (Pasai).
Tanahnya kurang subur dan hanya sedikit menghasilkan panen (padi); rakyatnya
sebagian besar hidup dari pisang dan kelapa. Baik pria maupun wanitanya
membiarkan bagian atas tubuhnya telanjang dada, sedangkan bagian bawahnya
ditutupi sehelai kain panjang; untuk kehidupan sehari-hari mereka menangkap
ikan di laut, dengan memanfaatkan perahu yang dibuat dari sebatang pohon, atau
pergi ke hutan untuk mengumpulkan kapur barus dan hasil hutan lainnya. Setiap
pria (dewasa) selalu membawa busur dan anak panah beracun sebagai alat
beladirinya. Hasil bumi negeri ini adalah burung bangau bermahkota dan kapur
barus, yang mereka jual pada pedagang asing. Dalam transaksi dagangnya mereka
membeli sutera berwarna, barang-barang pecah belah (gerabah & keramik),
manik-manik kaca, dan sebagainya.
Sumber tertulis
Cina lainnya yang juga menyebutkan entitas Aru adalah Buku 325 Sejarah Dinasti
Ming (1368—1643 M). dalam buku itu dipaparkan bahwa[4] Aru terletak berdekatan dengan
Malaka; dengan angin yang baik pelayaran akan membutuhkan waktu 3 hari. Adat dan kebiasaannya serupa dengan
yang terdapat di Samudera (Pasai);
tanahnya miskin dan sedikit menghasilkan (panenan); namun mereka menanam
beragam jenis tanaman dan kelapa, yang mereka manfaatkan sebagai makanan. Pada tahun 1411 raja mereka yang
bernama Su-lu-tang Hu-tsin (Sultan
Husin) mengirimkan dutanya (ke istana Ming di Cina) bersama-sama dengan utusan
dari Kalikut (India) dan negeri-negeri lain. Utusan (dari Aru) ini dihadiahi
(oleh penguasa Cina) topi, korset (semacam pending/kain ikat pinggang ?),
sutera, uang (logam/koin) dan uang kertas, beserta sejumlah hadiah bagi raja
mereka. Pada tahun 1412 Cheng Ho (laksamana muslim Dinasti Ming pada masa
Kaisar Yung-lo/ Cheng-tsu) mengunjungi negeri ini sebagai duta kaisar. Pada
tahun 1419 putera raja (Aru) yang bernama Tu-an A-la-sa mengirim utusan (ke istana
Ming di Cina) beserta sejumlah hadiah, yang diulanginya lagi pada tahun 1421
dan 1423. pada tahun 1431, ketika Cheng Ho mengunjungi negeri-negeri asing,
sejumlah hadiah juga di bawa ke negeri ini (Aru), namun sesudah ini para utusan
(Aru) tidak pernah datang lagi (di istana Dinasti Ming di Cina).
Catatan lain tentang Aru terdapat dalam karya Cortesao,
seorang Portugis yang tinggal di Malaka yang telah dikuasai Portugis sejak 1511
M. Cortesao antara lain mencatat[5]
Kerajaan Daruu (Aru) adalah kerajaan besar, lebih besar daripada
kerajaan-kerajaan lain di Sumatera. Rajanya memiliki banyak rakyat dan lanchara (sejenis perahu cepat), tetapi
tidak kaya dari perdagangan. Dialah raja terbesar di Sumatera. Dia seorang
muslim dan hidup di pedalaman, dan banyak sungai di negerinya. Negerinya
sendiri berawa-rawa dan sulit dimasuki. Dia selalu tinggal di istananya. Para
hulubalang dan rakyatnya merompak di lautan, dan dia mendapatkan bagian dari
hasil rompakan, sebab dia turut andil membiayai armada lanchara itu. Sejak Malaka berdiri, dia selalu bermusuhan
dengannya, dan telah menawan sejumlah orang Malaka di negerinya. Orang Aru
senang berperang, dan tak seorangpun percaya pada mereka. Jika tidak mencuri
mereka tidak hidup, karena itu tidak satupun bersahabat dengan mereka. Dalam catatan Tomé Pires selanjutnya
disebutkan antara lain: Kerajaan Batak berbatasan di salah satu sisinya dengan
Kerajaan Pase,
sedang sisinya yang lain dengan Kerajaan Aru. Rajanya bernama Raja Tomjam, dia adalah seorang muslim,
dia juga menantu dari Raja
Aru. Dia sering berperang di daerah pedalaman, terkadang dia juga memerangi
mertuanya, kadang juga melawan Pase. Dia memiliki setidaknya 30 hingga 40 lanchara (sejenis perahu cepat) yang dipersenjatai dengan baik, yang
berlayar menuju selat (Malaka) melalui sungai-sungai.
Uraian sumber-sumber tertulis tentang entitas Aru yang
untuk sementara ini boleh dianggap sebagai entitas politik yang mewadahi situs
Kota Cina di masa lalu, menggambarkan bahwa Aru adalah suatu tempat yang
memiliki peran penting dalam segala bentuk aktivitas budaya di kawasan Selat
Malaka pada masanya dahulu. Eksistensi Kota Cina sebagai suatu bandar tentu
didukung oleh ketersediaan berbagai produk alam dari kawasan pedalaman, di
samping posisi alaminya yang memang menguntungkan, berada tepat di alur
pelayaran internasional. Di samping itu, interaksi antara satu kawasan pesisir
dengan kawasan pesisir lain (pantai barat dengan pantai timur) tampaknya juga
menjadi faktor penting kelangsungan keduanya sebagai kota bandar.
Ujud material pertama yang dapat
dikaitkan dengan eksistensi jalur interaksi kuno yang menghubungkan antara
daerah pesisir baik barat maupun timur adalah sejumlah artefak kuno yang
ditemukan di situs-situs niaga seperti Barus (di pesisir barat) dan Kota Cina
serta Pulau Kampe (di pesisir Timur). Benda-benda dimaksud adalah manik-manik
berbahan batu kornelian yang ditemukan di situs Bukit Hasang-Barus, Kota Cina
dan Pulau Kampai. Artefak dominan yang sekonteks dengan temuan manik-manik
kornelian dari situs Kota Cina, Pulau Kampe dan Barus adalah keramik-keramik
Cina dari masa Dinasti Sung hingga masa Dinasti Yuan (abad XI – XIV M). Merujuk
pada Adhyatman (1993:18) temuan sejenis juga terdapat di situs-situs lain di
Kepulauan Nusantara, antara lain di Bukit Patenggeng (Subang, Jawa Barat), Tri
Donorejo (Demak, Jawa Tengah) dan di Air Sugihan (dekat Palembang, Sumatera
Selatan). Ragam artefak dominan serupa juga terdapat di Subang yang sekonteks
dengan keramik Sung dari abad XIII M, sementara di Demak sekonteks dengan keramik
dari masa Tang hingga Sung (VII – XIII M).
Artefak berikutnya adalah tembikar
dari situs Bukit Hasang-Barus dan Kota Cina. Tedapat 2 jenis tembikar yang
serupa dari kedua situs tersebut, pertama adalah tembikar berwarna merah bata
yang dasarnya mengerucut (conical)
dan bagian bibirnya seperti bertingkat dibatasi oleh karinasi. Tembikar jenis
kedua dari situs Bukit Hasang-Barus dan Kota Cina yang serupa adalah yang
bidang permukaannya dihiasi oleh pseudo inkripsi
Jawa Kuno aksara la. Tembikar jenis pertama,
menurut Perret (2009:198 – 199) serupa dengan yang terdapat di India Selatan
dari abad ke-12/ke-13 M hingga abad ke-14/ke-15 M; artefak sejenis juga
terdapat di Vijayanagar dari masa pertengahan abad ke-14 M hingga akhir abad
ke-16 M.
Kesamaan ragam artefak ternyata tidak hanya antara
artefak dari situs pesisir barat dengan artefak dari situs-situs di pesisir
timur, namun juga antara situs pesisir (barat/Barus dan timur/Kota Cina) dengan
daerah pedalaman. Benda dimaksud adalah potongan batu silindrik yang ditemukan
di situs Lobu Tua dan Bukit Hasang di Barus, Sukanalu di Tanah Karo, dan Kota
Cina di Medan (lihat gambar di halaman 5). Di samping fungsinya, batu silindrik
ini juga dapat dijadikan petunjuk rentang masa relatif kekunoan jalur interaksi
antara pesisir dengan pedalaman di Sumatera Utara. Baik bentuk maupun bahannya[6],
batu-batu silindrik ini boleh dikata sama, artinya benda-benda ini dibuat oleh
suatu kebudayaan dengan latar belakang dan dari masa yang sama. Walaupun baik
Guillot (2002 & 2008) maupun Perret dan Heddy Surachman (2009) tidak
memberi pertanggalan terhadap batu-batu silindrik dari Lobu Tua dan Bukit
Hasang (Barus), untuk sementara secara relatif batu silindrik dari
Sukanalu-Tanah Karo dan batu-batu silindrik dari Barus maupun Kota Cina dapat
dititimangsa antara abad le-10 hingga ke-14 M. Hal tersebut didasarkan atas
rentang masa relatif kejayaan bandar Barus di pesisir barat dan bandar-bandar
di pesisir timur
(Kota Cina dan Pulau Kampe), yang peran budayanya masuk hingga pedalaman
menyentuh kawasan Pakpak dan Tanah Karo.
Data artefaktual selanjutnya yang menjadi
bukti hubungan antara pesisir barat dengan pesisir timur Sumatera adalah fragmen
umpak (landasan tiang) batu koleksi Museum
Situs Kota Cina Medan Marelan. Benda sejenis juga
ditemukan di situs Lobu Tua dan Bukit Hasang (Barus). Oleh Guillot (2008:292)
benda ini diidentifikasinya sebagai fragmen bangunan, yang asalnya kemungkinan
berasal dari India Selatan. Sementara Perret (2009:466) masih ragu-ragu
mengidentifikasinya sebagai landasan pilar (lihat gambar
di halaman 6).
Kesamaan
artefak yang berupa potongan
batu silindrik yang ditemukan di situs Lobu Tua dan Bukit Hasang di Barus,
Sukanalu di Tanah Karo, dan Kota Cina di Medan; merupakan
petunjuk kuat adanya jalur di kawasan pedalaman yang menghubungkan antara
pedalaman dengan pesisir melalui
dataran tinggi Pakpak dan Tanah Karo. Jalur interaksi ini terkait erat dengan
aktivitas perdagangan kapur barus/kamper dan kemenyan yang sejak lama menjadi
daya tarik utama Pulau Sumatera bagi para pedagang mancanegara. Daerah yang
secara tradisional dianggap sebagai penghasil produk alam ini adalah
hutan-hutan dataran tinggi antara Barus hingga Singkel. Produk alam berikutnya
adalah kristal-kristal getah kemenyan yang diperoleh dari torehan batang pohon
kemenyan (Styrax benzoin). Kawasan
pedalaman yang terbentang di barat
daya Danau Toba (daerah sekitar
Balige) hingga ke sisi barat
lautnya di daerah Pakpak merupakan
kawasan utama penghasil kemenyan hingga saat ini. Hasil kekayaan alam tersebut
dipasarkan terutama di satu pelabuhan di pantai barat Sumatera yakni Barus.
Beragam manusia dengan latar belakang sosial budayanya pernah meramaikan Barus
di masa lalu. Mereka datang tidak saja dari Kepulauan Nusantara, bahkan banyak
yang berasal dari anak benua India hingga kawasan Timur Tengah dan Mediterania.
Saat ini bukti kehadiran mereka di bandar kuno itu di masa lalu hanyalah
artefak-artefak yang sebagian besar dalam kondisi fragmentaris.
Kehadiran orang-orang dari India selatan di daerah
Barus selain untuk keperluan berdagang, ternyata -entah- langsung maupun tidak
langsung telah menjadi agen penyebaran kebudayaan India (Hindu-Buddha) di
kawasan Barus dan sekitarnya. Intrusi budaya Hindu-Buddha yang dibawa oleh
orang-orang dari India Selatan
tersebut, jejak-jejaknya dapat ditelusuri hingga sejauh kawasan dataran tinggi
Pakpak-Dairi dan Tanah Karo. Jejak-jejak pengaruh interaksi antara para
pendatang dari India Selatan
tersebut terekam antara lain lewat ungkapan-ungkapan verbal (bahasa), tradisi,
dan artefaktual (material).
Ungkapan-ungkapan verbal Tamil yang hingga kini masih
bertahan dalam kosa
kata Karo, antara lain adalah dalam
penyebutan kesatuan yang tidak terlalu mengikat dari sejumlah kampung yang
disebut urung. Kesatuan administratif
tradisional tersebut (urung) selain
terdapat di Tanah Karo juga terdapat di daerah Dairi dan Simalungun. Kesatuan
administrasi tradisional yang disebut urung
tersebut, merupakan adopsi dari istilah administrasi dari abad ke-11 hingga
ke-14 M di daerah Tamil yang disebut sebagai urom. Pada masa itu urom merupakan
suatu dewan yang mengelola sekelompok kampung inti dari kasta sudra, sebagaimana halnya terdapat brahmadeya
bagi sekelompok perkampungan bagi kasta brahmana
(McKinnon, 2009:123). Kata adopsi lain yang hingga kini masih eksis dalam
perbendaharaan kata bahasa Karo adalah kata tiga
yang bermakna pasar atau pekan. Kata tiga
tersebut diadopsi dari bahasa Tamil, sebagaimana terpaparkan dalam frasa katikka-t-tāvalam yang bermakna pasar
kecil (McKinnon, 2009:135). Ungkapan verbal lainnya terekam juga dalam
nama-nama submarga dari orang-orang Karo yang bermarga Sembiring, seperti Brahmana, Pandia, Colia, Meliala, Mugham,
dan sebagainya. Selain pada orang-orang Karo, nama-nama marga yang asalnya
berasal dari India juga terdapat pada orang-orang Pakpak, seperti Lingga, Maha,
dan Maharaja. Selain ketiga marga tersebut, menurut McKinnon (1993-1994:58)
marga Kudadiri pada masyarakat etnis Pakpak tampaknya juga berasal dari India
yang diadopsi dari kata kudira chetty (pedagang
kuda dalam bahasa Tamil dan Malayalam).
Ingatan akan para pedagang kuda sebagaimana terekam
-antara lain- lewat nama marga di Pakpak tersebut, ternyata terpresentasi lewat
karya trimatra (3 dimensi) berupa patung-patung penunggang kuda yang banyak
tersebar di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat. Salah satunya adalah yang terdapat
di kompleks mejan[7]
marga Berutu di Dusun Kuta Ujung, Desa Pardomuan, Kecamatan Sitelu Tali Urang
Julu, Kabupaten Pakpak Bharat. Di kompleks mejan
tersebut terdapat satu patung manusia menunggang kuda. Sosok penunggang
laki-laki, bagian tangannya memegang tali kekang yang memanjang hingga bagian
belakang kepala kuda tunggangannya, badannya digambarkan tegak, bagian kepala
dihiasi rambut yang disanggul di ubun-ubunnya (menyerupai usnisa/sanggul pada patung-patung Budha), pada kedua pergelangan
tangannya masing-masing dihiasi satu gelang, sedangkan bagian kakinya
digambarkan ditekuk menjepit badan binatang tunggangannya, yakni seekor kuda.
Pada bagian mulutnya digambarkan lidahnya terjulur memanjang hingga ke bagian
baturnya yang hanya tampak sebagian kecil sebab selebihnya telah ditutup semen,
bagian ekornya melengkung menempel kebagian punggung si penunggang, sedangkan
keempat kakinya yang digambarkan pendek berdiri pada sebentuk batur.
Arti penting dari keberadaan patung-patung penunggang
kuda dan nama salah satu marga di Pakpak (Kudadiri) berkaitan dengan masa
peristiwa ketika ekspresi trimatra (3 dimensi) dan ungkapan verbal tersebut
sudah berlaku bahkan jauh sebelum anasir Eropa menyentuh kawasan pedalaman
Sumatera. Jadi ketika para penjelajah Eropa memberitakan tentang perdagangan
kuda dari kawasan pedalaman menuju pesisir, atau ketika mereka memberitakan
bahwa penduduk pedalaman membarter kuda ternak mereka dengan kapas yang didatangkan
dari pesisir, peristiwa itu adalah penggalan peristiwa yang telah berlaku sejak
sebelum kedatangan mereka ke Pulau Sumatera. Bukan mustahil, hal ini telah
berlaku ketika pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha mendominasi sebagian kawasan di
Pulau Sumatera.
Ungkapan verbal lain yang terekam dalam bentuk aksara
juga masih eksis dalam budaya Pakpak maupun Karo. Aksara tradisional yang masih
-atau pernah- ada di Sumatera bagian utara seperti aksara Batak (Toba,
Mandailing, Karo, dan Pakpak) atau aksara tradisional sejenis di Sumatera
bagian selatan seperti aksara Rejang (Rencong), adalah turunan dari aksara
Pallawa yang juga menjadi induk dari sejumlah aksara tradisional lain di
Nusantara, seperti aksara Jawa, Sunda, dan Bali. Menurut Parkin (1978:101) aksara
yang berkembang di sekitar Danau Toba mengalir dari selatan ke utara melalui
masyarakat Jawa, Melayu, atau Minangkabau beragama Hindu-Buddha yang tinggal di
Padang Lawas. Sementara Kozok (1999:67) memperkirakan aksara tradisional Batak
berawal di daerah Sumatera Selatan
pada masa kejayaan dan di sekitar wilayah Sriwijaya. Lebih lanjut Kozok
(1999:67) menyatakan aksara purba tersebut (Pallawa) diolah sedemikian rupa
oleh masyarakat setempat pada masanya,
menjadi bentuk yang lebih sederhana agar mudah dipelajari, lebih sesuai untuk
bahasa-bahasa setempat (yang dari segi fonetis lebih sederhana dibanding
bahasa-bahasa dari India), dan tentunya lebih mudah dituliskan di atas media
yang keras seperti bambu atau kayu. Bukti keberadaan aksara pasca Pallawa di wilayah
budaya Pakpak adalah yang terdapat di beberapa batu pertulanen[8]
di daerah Dairi, tepatnya di suatu tempat pengumpulan beberapa artefak kuno
yang disebut Ganda Sumurung, menempati
halaman rumah Bapak Hotman Lingga. Pertulisan yang dipahatkan pada permukaan
tutup batu pertulanen tersebut masih
belum dibaca, sehngga belum diketahui isi dan maksud penulisannya. Selain di
wilayah Kabupaten Dairi, benda sejenis juga ditemukan di belakang Gereja GKPPD,
di Dusun Jambu Rea, Siempat Rube I, Desa Jambu Rea, Kecamatan Siempat Rube,
Kabupaten Pakpak Bharat pada areal penguburan umum. Benda yang dikenal oleh
masyarakat sekitar sebagai batu tetal ini
kondisinya relatif rusak.
Selain terpresentasikan lewat ungkapan-ungkapan verbal,
bukti pengaruh kehadiran budaya Hindu-Budha di daerah dataran tinggi terujud
pada ragam hias yang terdapat pada rumah-rumah tradisional di kawasan sekitar
Danau Toba. Beberapa ragam hias yang asalnya
dari kebudayaan Hindu-Budha antara lain adalah motif hias desa na ualu dan bindu matoga. Kedua motif hias ini dalam konsep Hindu-Budha adalah
suatu bagan atau diagram magis yang melambangkan arah dan ruang magis. Hingga
sebelum masuknya pengaruh Kristen di kawasan tersebut, para datu (pemimpin religius) di seputar
Danau Toba masih mempraktekkan ritual tertentu dengan cara antara lain membuat
diagram magis di permukaan tanah, yang dikenal sebagai bindu
matoga.
Bentuk lain dari motif hias yang asalnya juga dari masa
penguruh Hindu-Budha terdapat di beberapa daerah di wilayah Kabupaten Pakpak
Bharat yang hingga kini masih dapat dilihat di rumah-rumah tradisional Pakpak.
Salah satu bentuk rumah tradisional mereka dikenal sebagai rumah jojong. Rumah jojong berarti rumah yang memiliki menara, dibentuk dari 2 kata,
yakni rumah dan jojong yang berarti
menara. Jojong ditempatkan di
tengah-tengah bubungan atap yang melengkung (denggal). Di masa lalu hanya raja dan keluarganya yang menempati
rumah jenis ini (Sihaan dkk., 1977/1978:121). Salah satu hal menarik dari rumah
jojong adalah bentuk kepala manusia
dibagian atas pintu masuk yang dalam istilah seni hias Toba disebut jenggar.
Jenggar yang terdapat di rumah jojong milik keluarga Raja Johan Berutu di Desa Ulu Merah,
Kecamatan Sitelu Tali Urang Julu ini berbentuk kepala manusia bermahkota dengan
hiasan menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan kanannya. Pengamatan lebih
lanjut terhadap jenggar pada rumah tradisional Pakpak ini menunjukkan
adanya kemiripan dengan bagian kepala arca perunggu Wisnu berbahan perunggu
dari Tanjore, negara bagian Tamil Nadu, India; serta bagian kepala arca
perunggu Siwa Nataraja juga dari Tanjore, negara bagian Tamil Nadu, India.
Bagian dari jenggar yang mirip dengan arca Wisnu dari Tanjore adalah
bentuk mahkotanya yang dalam ikonografi disebut sebagai kirita-mukuta;
sedangkan bagian dari jenggar yang mirip dengan arca Siwa Nataraja
adalah bentuk yang menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan kanan jenggar
yang mirip dengan bagian rambut arca Siwa Nataraja yang digambarkan terurai di sisi kiri dan
kanan kepalanya. Kedua arca pembanding dari Tanjore tersebut diperkirakan
dibuat pada abad ke-11 M, masa kekuasaan Dinasti Chola di India selatan.
Arca-arca berlanggam Chola ternyata ditemukan juga di daerah lain di Sumatera
Utara, antara lain adalah arca batu Buddha yang ditemukan di situs Kota Cina,
Medan; arca batu Wisnu dan Lakshmi juga dari situs Kota Cina, Medan; dan arca
perunggu Lokanatha dari Gunung Tua, Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Berdasarkan
contoh-contoh pembanding itu, tentunya bentuk jenggar dari rumah jojong di
Pakpak Bharat itu mengacu dari arca-arca berlanggam Chola di atas.
Data yang terkumpul dari sejumlah tempat di pesisir
timur (Kota Cina dan Pulau Kampe) dan barat (Barus), serta dari kawasan
pedalaman khususnya di Tanah Karo, Pakpak Bharat dan Dairi menjadi petunjuk
adanya jalur interaksi kuno yang menghubungkan antar tempat tersebut.
Setidaknya sebagian data tadi menjadi petunjuk hadirnya para pendatang dari
India Selatan. Dominasi pengaruh India Selatan (Tamil) di tempat-tempat
tersebut terkait erat dengan invasi kerajaan Chola terhadap sejumlah kerajaan
di kawasan Samudera Hindia pada tahun 1025 sebagaimana terungkap dalam prasasti
Rajendra Chola di Tanjore yang berangka tahun 1030/1031 M, yang terjemahannya
antara lain sebagai berikut (Munoz, 2006:161).
Pada hari ke-242 tahun ke-19 dalam kurun
masa Ko Parakesarivarman, Baginda Sri
Rajendra Chola Deva, yang…menaklukkan dengan kekuatan angkatan perangnya yang
besar dan agresif…seluruh Ira-mandalam (Srilangka)
yang terletak di samudera, Oddavisayam (Orissa)
yang sulit ditempuh…Kasalai-Nadu yang
bagus tempat para brahmana berkumpul, Tandabutti
yang taman-tamannya dipenuhi lebah-lebah, Vangaladecam
(Bengala) tempat hujan tak pernah berhenti, Ganja… Dan beliaulah yang mengirimkan kapal-kapal di samudera yang
ganas, telah menangkap Sangramavijayottunggavarman, Raja Sriwijaya… Beliau juga
merampas sejumlah besar harta Raja Kadaram
(Kedah) yang dikumpulkan di antara Vidayadharatorana
(gerbang-gerbang perang) dari kota-kota besar para musuh, gerbang permata,
Sriwijaya yang makmur: Pannai (Pane
/Panai) yang diairi sungai, Malayur (Malayu)
yang bentengnya berada di ketinggian bukit, …Ilamuridesam (Lamuri) …
Walaupun secara politis dampak dari serbuan Kerajaan
Chola tampaknya tidak terlalu penting, namun sejak serangan itu berbagai
serikat dagang Tamil telah mendapatkan tempat yang istimewa dalam perdagangan
di kawasan Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Untuk kawasan Asia Tenggara
sendiri prasasti-prasasti terkait dengan keberadaan orang-orang Tamil setelah
invasi Chola pada tahun 1025 adalah prasasti dari Nakhon Si Thammarat
(Muangthai Selatan) dari abad ke-13 M dan prasasti dari abad ke-13 M di Pagan
(Myanmar) yang menyebutkan serikat dagang Ayyāvole
500, sedangkan di Sumatera sendiri terdapat 4 prasasti. Prasasti tertua
terkait dengan orang-orang Tamil di Sumatera adalah prasasti batu dari situs
Lobu Tua, Barus. Prasasati berangka tahun 1010 saka (1088 M) ini dikeluarkan
oleh suatu serikat dagang bernama Ayyāvole
500 (Perkumpulan 500), berikut kutipan ringkas terjemahan teksnya
(Sastri,1932:326 dan Subbarayalu,2002:20) :
Sekarang, pada tahun 1010 Çaka, bulan Māsi,
kami, Yang Kelimaratus Dari Seribu Arah, dikenal di semua negara dan arah,
telah bertemu di Vēlāpuram di Vārōcu… Maka, kami Yang Kelima Ratus Dari Seribu
Arah, dikenal di semua arah dan di semua delapanbelas negara telah menyuruh
mengukir dan menancapkan batu ini. Jangan lupa sikap baik hati: sikap baik hati
sendiri yang merupakan teman baik.
Selain di daerah Barus kehadiran orang-orang Tamil di
Sumatera, bukti-buktinya juga didapatkan di wilayah Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Barat. Di Sumatera Utara
terdapat satu prasasati bilingual /
dwibahasa (Jawa kuno dan Tamil) dari Porlak Dolok, Padang Lawas yang berangka
tahun 1258/1265 M. Prasasti Porlak Dolok dipahatkan pada bagian punggung arca
Ganesha, selain memuat pertulisan angka tahun juga memuat tokoh Pāduka Çri Mahārāja. Sedangkan prasasati
di Sumatera Barat yang terkait dengan keberadaan orang-orang Tamil adalah
Prasasti Bandar Bapahat[9].
Untuk Aceh datanya berupa satu prasasti yang ditemukan di daerah Neusu,
pinggiran Kota Banda Aceh pada tahun 1990, berikut adalah kutipan transliterasi
dan transkripsi prasasti yang kini disimpan di Museum Negeri Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (Subbarayalu, 2009:530):
Sisi pertama terdiri dari 18 baris: Sisi kedua terdiri dari 24 baris:
1. 1.
… … …
2. … … ru 2.
vum
pōvā
3-11. … … … 3.
kavum
pōkkavu-
12. ta[yatta]rāya 4. ļļatu
kaik-
13. lana ema 5. kollak
kata-
14. [ntala]ttu 6. vatallatāka-
15. … … … 7. vum
itukku
16. …ta pāte… 8. urayva[run ta]-
17. … …vāru.. 9. ńkallai
[vā]-
18. …varāva… 10 kal kamma[ya]lā-
11 r uļļiţţu
[ca-
12 vattuţaya]
var
13 kaļ vantu
ko-
14 ţu pōka
kaţavar-
15 kaļākavum
po-
16 licai
koļļak
17 kaţavarkaļal-
18 lavākavum
pira-
19 kum
nammakka-
20 ļ
ikkalve-
21 ţţuk[ku]kok-
22 kac
ceyyak
23 kaţavarkal
24 subhamastu
Terjemahan sisi
kedua:
[baris 2—7] …sisanya janganlah diminta
(dikumpulkan/ditarik)
[baris
7—15] pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk vākal-kammayalār harus
datang ke sini dan membawa batu sabak untuk kegunaan ini
[baris 15—18] bunga semestinya tidak diminta
[baris
18—24] demikianlah orang-orang kami (nam makkal) harus menjalankan (tugasnya)
sesuai batu prasasti ini. Semoga hal-hal baik terlaksana.
Salah satu situs penting yang menjadi penanda kehadiran
orang-orang Tamil di pesisir timur Sumatera adalah situs Kota Cina. Hal ini
dibuktikan antara lain lewat keberadaan arca-arca berlanggam Chola. Selain itu
frasa Kota Cina sendiri, tampaknya merupakan turunan dari dua dalam bahasa
Tamil yakni Cinna Kotta yang berarti
suatu permukiman kecil berbenteng. Hal ini berbeda sekali dari pemahaman selama
ini yang menganggap Kota Cina sebagai suatu permukiman orang-orang Cina
sebagaimana beredar dalam tradisi tutur masyarakat sekitar situs (McKinnon,
2009:126).
Selain orang-orang dari India Selatan (Tamil),
kehadiran para pendatang dari Pulau Jawa tampaknya turut berperan dalam jalur
interaksi kuno di Sumatera bagian utara. Walaupun menurut McKinnon (2009:133),
pendapat Guillot (2003:64) yang menyatakan bahwa sejumlah bukti yang dapat
dihubungkan dengan eksistensi Jawa di Barus, seharusnya dipandang sebagai
eksistensi jaringan perdagangan Tamil dengan Jawa (timur) via Barus daripada
aktivitas orang-orang dari Jawa sendiri. Pendapat McKinnon itu tampaknya hanya
didasarkan pada sejumlah data tertulis yang ditemukan di Jawa yang antara lain
memuat sejumlah warga kilalan asing,
salah satunya adalah orang-orang dari India Selatan (Kling/Keling atau Tamil).
Beliau mungkin lupa bahwa di Lobu Tua-Barus ditemukan potongan prasasti
berbahan batu yang ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa Kuna[10].
Artinya, sebagaimana orang-orang Tamil yang eksistensinya di Barus antara lain
ditandai oleh prasasti, sebagai penanda kehadiran serikat dagang mereka;
orang-orang Jawa yang hadir di Barus juga membuat hal serupa yakni dengan
membuat prasasti. Bukti lain yang dapat dikaitkan dengan kehadiran Jawa di
Barus adalah sekeping pecahan tembikar yang pada sisi luarnya digoreskan bentuk
yang menyerupai aksara la Jawa Kuna.
Keping sejenis dalam ukuran yang lebih besar juga didapatkan di situs Kota Cina
yang memperkuat pendapat Machi Suhadi bahwa goresan pada pecahan tembikar yang
ditemukan di situs Bukit Hassang-Barus adalah aksara la Jawa Kuna.
Menarik juga untuk diamati bahwa tidak jauh dari situs
Kota Cina dahulu juga terdapat toponim Kota Jawa. Demikian halnya nama suatu
daerah di Simalungun, yakni Tanah Jawa. Toponim lain yang memuat kata Jawa
adalah suatu tempat di dataran tinggi Karo yang disebut sebagai Negeri Jawa
yang letaknya teridentifikasi berkat laporan perjalanan Baron de Raet van Cats
(1875 dalam McKinnon, 2009:128) yang menelusuri Tanah Karo melalui celah
Cingkem untuk mencapai tepi barat Danau Toba. Didampingi oleh Captain Shepherd
seorang perwakilan militer Inggris di Pulau Pinang (Malaya), van Cats menyusuri
rute Deli Tua, Tangkahan, Salah Bulan, Limau Mungkur, Bukum, lalu naik ke
dataran tinggi melalui Negeri Jawa, Siberaya, Barus Jahe, Sinyaman, dan
akhirnya Naga Saribu. Tampaknya dahulu orang-orang Tamil dan orang-orang Jawa
pernah eksis di dua situs penting di pantai timur (kawasan Kota Cina) dan di
pantai barat (kawasan Barus).
Rangkaian data yang telah dibahas, baik artefaktual
maupun historis mengindikasikan adanya
keterkaitan antara pantai barat dan pantai timur Sumatera pada masa lalu, yang
terhubungkan oleh suatu jalur darat mengikuti punggung Pegunungan Bukit Barisan
melintasi daerah Pakpak dan Tanah Karo sekarang. Kesamaan sejumlah artefak yang
terdapat di pantai barat, yang terwakili oleh situs Barus dengan
artefak-artefak yang ditemukan di pantai timur, yang terwakili oleh situs Pulau
Kampe dan Kota Cina antara lain adanya manik-manik kornelian, tembikar
berglasir, dan tembikar berhias pseudo aksara
Jawa Kuna membuktikan bahwa kedua kawasan tersebut berkembang pada masa yang
relatif sama (XI—XIV M). Situs-situs di pantai timur dan pantai barat Sumatera
Utara itu pada masanya dahulu terhubung lewat jalur laut menyusuri tepian luar
Pulau Sumatera. Namun, bukan mustahil jalur darat juga eksis di saat yang sama.
Hal itu dibuktikan oleh keberadaan batu silinder yang ditemukan di Barus,
Sukanalu (Tanah Karo), dan Kota Cina yang diduga merupakan fragmen lingga.
Jejak-jejak jalur interaksi kuno itu juga dapat dirunut lewat sejumlah artefak
yang berasal dari masa yang lebih muda yang tersebar di antara dua daerah
pesisir tersebut.
[1] Groeneveldt, W.P., 1960. Historical
Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese Sources. Jakarta: Bhratara, hal.
94—95
[2] Chün, Feng Ch’en, 1970. Ma
Huan: Ying-Yai Sheng-lan ‘The Overall Survey of The Ocean’s Shores’. London: Cambridge
University Press, hal: 114—115
[5] Cortesao, Armando, 1967. The
Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Fransisco Rodrigues.
Nendela/Lichtenstein: Kraus Reprint Limited
[6]
Semuanya dari bahan batuan beku, yakni granit
yang dikategorikan sebagai batuan beku asam (kadar silika lebih dari 66
%) dan andesit yang dikategorikan sebagai batuan beku menengah (kadar silika
antara 52—66 %)
[7]
Penyebutan setempat untuk makam / kubur leluhur
[8] Palung
batu yang berfungsi sebagai wadah penyimpan sisa-sisa jasad manusia berupa
tulang
[9] Prasasti
Bandar Bapahat telah hilang akibat proyek pembangunan saluran irigasi
[10]
Lebih lanjut tentang prasasti beraksara dan berbahasa Jawa Kuna dari Lobu
Tua-Barus, lihat Setianingsih (2003) dan Utomo (2007)
Langganan:
Postingan (Atom)